Bandung – Tanpa mengurangi rasa toleransi kepada umat Islam Indonesia yang mengadopsi konsep rukyah Amir Mekkah sebagai penentu hari-hari haji sehingga berpuasa Hari Arafah pada hari Jumat (8/7/2022), saya ingin mengkritisi konsistensi nalar mereka. Saya melihat ada kekacauan cara berpikir terkait konsep Hari Arafah dan praktik puasa mereka.
Kelompok tersebut berpendapat bahwa, khusus waktu-waktu dalam ibadah haji, Amir Mekkah yang berwenang menetapkan kapan harinya setelah me-rukyat hilal, atau menerima menerima rukyat hilal dari warga Mekkah di hadapan saksi-saksi.
Dengan kata lain, tanggal 8, 9 dan 10 Dzulhijjah mulai dihitung sejak magrib di sana. Satu hari dihitung dari maghrib ke maghrib. Sudah barang tentu dalam praktiknya tidak ada masalah bagi jamaah haji dan kaum Muslim yang ada di sana terkait waktu-waktu shalat dan puasa.
Waktu puasa dihitung sejak adzan subuh sampai adzan maghrib di tempat seseorang melaksanakan puasa. Jika sedang berada di Mekkah, harus mengikuti jadwal di sana. Jika berada di Bandung, ikut jadwal adzan subuh dan maghrib di Bandung.
Konsekuensi logis dari pendapat yang mengikuti rukyat Amir Mekkah, adalah pergantian hari dimulai saat adzan maghrib waktu Mekkah. Mekkah menjadi patokan, menjadi titik 1 detik. Detik pertama tanggal 9 Dzulhijjah (hari Arafah) dimulai dari sana, bukan dari Bandung.
Jika dihitung dari Indonesia ke Arab Saudi, jarak waktunya 4 jam. Jika dihitung dari Arab Saudi ke Indonesia, jarak waktunya 20 jam.
Jika mereka konsisten mengikuti rukyat Amir Mekkah, maka 9 Dzulhijjah dimulai ketika adzan magrib berkumandang di Mekkah, bukan di Bandung. Hari Arafah bagi mereka baru wujud 20 jam setelah adzan subuh berkumandang pada tanggal 9 Dzulhijjah di Mekkah, bukan 4 jam sebelumnya.
Lalu, mengapa Hari Arafah mereka, 4 jam lebih cepat dari Mekkah? Karena ternyata, secara sadar atau tidak, mereka menggunakan GMT sebagai patokan, bukan rukyat Amir Mekkah. Padahal, katanya, khusus Idul Adha harus mengikuti rukyat Amir Mekkah, yang berarti menjadikan Mekkah sebagai patokan, bukan GMT.
Justru, jika konsisten dengan konsep rukyat Amir Mekkah, puasa Arafah dikerjakan pada hari Sabtu (9/7/2022) ini, karena 20 jam setelah adzan subuh pada tanggal 9 Dzulhijjah di Mekkah (04.18), jatuh pada pukul 24.18 atau 00.18 WIB hari Sabtu (9/7/2022). Resminya dimulai saat adzan subuh tadi.
Meskipun umat Islam Indonesia yang puasa Arafah hari Sabtu (9/7/2022) ini berdasarkan hasil rukyat lokal, pada faktanya lebih konsisten dan linear dengan hasil rukyat Amir Mekkah.
Artinya, membesar-besarkan masalah ikut rukyat Amir Mekkah, tidak lebih dari sekadar propaganda dari kelompok yang memang sudah dikenal tergila-gila dengan khilafah. Maksud hati mereka, ingin menunjukkan kepada umat, seolah-olah umat sulit bersatu tanpa khilafah, sampai masalah haji pun berpecah belah, padahal mereka sendiri yang tidak konsisten dengan pendapat mereka. (*) (Ant/Nisa)
*Ayik Heriansyah, Penulis adalah pengurus Lembaga Dakwah PWNU Jawa Barat