Madiun, Memasuki tanggal satu oktober yang di peringati sebagai hari kesaktian pancasila tentu mengingatkan kembali luka sejarah Bangsa Indonesia akibat kebiadaban Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ambisi untuk menggulingkan Pemerintahan Indonesia dan membentuk negara Soviet dengan mengganti dasar negara Indonesia dari Pancasila menjadi Komunisme, menumbalkan nyawa 7 Jenderal beserta ribuan warga lainnya harus melayang di tangan PKI.
PKI melakukan pemberontakan terhadap pemerintah Indonesia pertama kali pada 18 September 1948 di Madiun, yang kala itu Indonesia berada di tangan pemerintahan Presiden Soekarno.
Tapi sempatkah kalian bertanya mengapa Madiun dipilih sebagai lokasi untuk melancarkan aksinya?
Berikut rangkuman beberapa alasan yang banyak beredar di masyarakat.
Lokasi yang strategis sangat mungkin menjadi alasan utamanya, pasalnya Madiun terletak diantara 2 gunung yakni Gunung Wilis dan Gunung Lawu.
Hal ini sangat mendukung strategi yang telah mereka susun, lantaran gunung-gunung tersebut dapat dijadikan tempat pertahanan dan melarikan diri apabila terjadi serangan.
Kala itu Madiun juga merupakan kota satu-satunya yang sudah memiliki lapangan udara, yakni Lapangan Udara Maospati. Lapangan Udara tersebut merupakan bangunan Belanda yang digunakan untuk pertahanan ketika melawan Jepang.
Dalam pembangunannya, Lapangan udara Maospati ini bebarengan dengan Lapangan Udara Pakis yang berada di Malang.
Selain alasan diatas, Madiun juga menjadi titik sentra usai Perjanjian Renville, mulai dari demarkasi paling barat yakni Yogyakarta hingga Kediri dan Malang, Madiun berada di tengah-tengah wilayah tersebut.
Karena dalam aksinya mereka juga mengajak para petani serta buruh dalam melakukan pemberontakan, saat itu Madiun juga terdapat banyak pabrik gula (PG).
Seperti PG Rejoagung, PG Kanigoro, PG Pagotan, PG Gorang-Gareng, dan PG sedono yang dinilai mampu memenuhi standar ekonomi.
Hal ini juga berarti bahwa Madiun dan Magetan memiliki basis buruh yang kuat, yang dapat membantu partai komunis tersebut dalam melancarkan aksinya.
Dilansir tempo.co, Beberapa waktu yang lalu, Bupati Madiun Ahmad Dawami Ragil Saputro menegaskan bahwa wilayahnya bukanlah basis gerakan Partai Komunis Indonesia atau PKI. Menurutnya, tokoh dari PKI beserta partai kiri lain yang tergabung dalam Front Demokrasi Rakyat seperti Muso, Amir Syarifuddin, Sumarsono, dan Joko Suyono bukan orang asli Madiun.
Menurut Kaji Mbing, sapaan akrab Ahmad Dawami Ragil Saputro, Madiun hanya sebagai tempat diproklamasikannya Republik Soviet Indonesia oleh Muso pada 18 September 1948. Sejumlah tempat-tempat penting juga dikuasai dan diduduki PKI. Ulama, polisi, pegawai kesehatan, guru, dan sejumlah kalangan lain menjadi korban pembantaian pada saat itu.
Kaji Mbing melanjutkan ceritanya, Madiun dijadikan pusat aksi dan wilayah sekitar Madiun dijadikan kacau.
“Tidak ada embrio orang Madiun adalah PKI karena semua (tokoh PKI) orang luar Madiun,” kata Kaji Mbing, ucapnya pada Hari Kesaktian Pancasila di Monumen Kresek, Kecamatan Wungu, Kabupaten Madiun.
Kekacauan tersebut terjadi di sejumlah daerah sekitar Madiun seperti Magetan dan Ponorogo. Saat itu, basis gerakan PKI yang sebelumnya berada di Solo bergeser ke Madiun. Wilayah itu dikuasai hanya selama 13 hari, yakni terhitung sejak 17 hingga 29 September 1948. Tepat pada 30 September 1948 PKI lari dan Madiun sudah bisa dikuasai Pasukan Siliwangi bersama rakyat.
Pemberontakan PKI kembali pecah pada 30 September 1965. Sejumlah Jenderal Tentara Nasional Indonesia Angkatan Darat menjadi korban pembantaian. Pada 30 September 1948 Madiun berhasil dikuasai lagi dari PKI dan 30 September 1965 diculiklah para jenderal. Kemudian, 1 Oktober disepakati sebagai Hari Kesaktian Pancasila.
Peristiwa kelam yang terjadi di wilayah Madiun – Magetan sangat membekas dalam ingatan masyarakat setempat. Untuk memperingati tragedi pemberontakan PKI yang terjadi di Madiun, maka pada 1989 dibangun Monumen Kresek di Kecamatan Wungu. Di tempat yang diresmikan pada 1991 itu sejumlah korban PKI dikubur.
Sementara di Magetan para korban dibantai secara kejam dan kemudian dimasukkan ke dalam sumur-sumur pembantaian. Antara lain di sumur tua Cigrok Magetan, Sumur Tua Kepuh Rejo Magetan. Dan yang paling banyak adalah di Desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan.
Di Desa Soco sendiri dibangun Monumen Soco yang diresmikan pada 15 Oktober 1989 oleh Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat yaitu M Kharis Suhud. Bangunan ini dulunya adalah sumur yang digunakan untuk membuang ratusan korban keganasan FDR/PKI yang dipimpin oleh Muso pada tahun 1948.
Di dekat monumen itu dibangun prasasti nama-nama korban yang tidak bersalah. Dari 108 korban yang diperkirakan, hanya 67 korban yang diketahui namanya, sedangkan 41 lainnya tidak dikenali. Di tempat ini juga terdapat bukti berupa gerbong maut atau biasa disebut dengan gerbong kertapati (kereta kematian). Gerbong ini ikut serta dimonumenkan karena gerbong ini menjadi saksi bisu para korban yang disiksa dengan sadis, sebelum akhirnya di buang menjadi satu di sumur itu.
Tentunya kabupaten Madiun dan Magetan hanya dijadikan objek gerakan yang dimotori oleh orang yang berasal dari luar madiun. Warga madiun yang memiliki latar belakang buruh pabrik dan buruh tani menjadi korban propaganda PKI dalam melancarkan aksinya. Buktinya banyak tokoh-tokoh masyarakat, Anggota kepolisian, aparat TNI dan kyai-kyai yang menjadi korban kebiadaban partai terlarang tersebut.
Itulah beberapa alasan mengapa Madiun dipilih sebagai lokasi pemberontakan yang banyak beredar di masyarakat.
Semoga kejadian-kejadian seperti ini tidak terulang di negara Indonesia tercinta ini. Dan jangan lupa tetap menjaga kerukunan antar sesama agar terciptanya kedamaian bangsa.
Penulis : Sugianto, S.M, Alumnus Universitas Nahdlatul Ulama Sidoarjo. Pemuda Asal Magetan, Cucu dari salah satu korban keganasan PKI dusun Babadan, Desa Kepuhrejo, kecamatan Takeran, kabupaten Magetan.