SEJARAH LAHIRNYA PANCASILA

SEJARAH LAHIRNYA PANCASILA

Secara etimologis, kata “Pancasila” berasal dari bahasa Jawa kuno, yg sebelumnya diserap dari bahasa Sanskerta dan Pali, yg artinya “lima sendi dasar” atau “lima dasar yg kokoh”.
Mula-mula kata “sila” dipakai sebagai dasar kesusilaan atau landasan moral Buddhisme, yg memuat lima larangan sebagai berikut:
“Aku bertekad untuk melatih diri menghindari pembunuhan; pencurian; perbuatan asusila; ucapan yg tidak benar; minuman dan makanan yg dapat menyebabkan lemahnya kewaspadaan”

Istilah Pancasila di negara kita sudah dikenal sejak zaman Majapahit.
Istilah ini dijumpai baik dalam karya Mpu Tantular dalam bukunya “Kekawin Sutasoma” (tahun 1384), maupun karya Mpu Prapanca dalam sastra pujanya yg berjudul “Kekawin Negara Krtagama” (tahun 1367).
Jadi, kedua pujangga itu hidup pada masa puncak kejayaan Majapahit, yg dikenal sebagai negara nasional yg kedua, setelah kedatuan Sriwijaya dan sebelum Negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Dalam Kekawin Sutasoma, istilah Pancasila disebutkan 2 kali, yaitu dalam _seloka-seloka_ suci yg dalam bahasa Jawa kuno bunyinya:

Bwat Bajrayana Pancasila ya gegen den teki hawya lupa!
Artinya: “Bagi yg mengikuti vajrayana, Pancasila harus dipegang teguh, jangan sampai dilupakan” (Sutasoma 145:2).

Astam sang catursrameka tarinen ring Pancasila Krama!
Artinya: _”Wajibkanlah kepada semua anggota catur asrama supaya Pancasila dijalankan secara teratur” (Sutasoma 4:4).

Selanjutnya, dalam Kekawin Negara Krtagama, kata Pancasila dijumpai dalam _seloka_ yg berbunyi:

“Yatnagegwani Pancasila krtasangskara bhisekakrama”.
Artinya: “Sang Raja selalu waspada dan teguh memegang Pancasila, berlaku mulia, dan menjalankan upacara agama”
(Negara Krtagama 43:2).

PANCASILA DIGAUNGKAN KEMBALI DALAM PIDATO BUNG KARNO, 1 JUNI 1945

Dalam pidatonya tanpa teks di depan sidang Badan Usaha Persiapan Kemerdekaan pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno menggaungkan kembali Pancasila sebagai nama dasar negara kita, untuk memenuhi pertanyaan Dr. KRT. Radjiman Wedyodiningrat, yaitu apa dasar negara Indonesia merdeka yg akan didirikan.

Menurut Bung Karno, yg diminta dr. Radjiman tidak lain adalah Welthanchauung atau Philosofische Gronslag (Dasar Filsafat) yg di atasnya Negara Indonesia merdeka akan didirikan.
Dalam pidato yg akhirnya dikenal sebagai “Lahirnya Pantja-Sila” itu, Bung Karno mengusulkan dasar-dasar sebagai berikut:

1. Kebangsaan Indonesia
2. Internasionalisme atau Peri Kemanusiaan
3. Mufakat atau Demokrasi, dasar perwakilan, dasar permusyawaratan
4. Kesejahteraan Sosial
5. Ketuhanan Yang Maha Esa.

“Sekarang”, kata Bung Karno, “banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa, namanya ialah Pancasila.
Sila artinya asas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi”

Setelah melalui proses perumusan ulang, pidato Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945 tersebut, kemudian dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945, Alinea 4, yg lengkapnya berbunyi:

1. Ketuhanan yg Maha Esa.
2. Kemanusiaan yg adil dan beradab.
3. Persatuan Indonesia.
4. Kerakyatan yg dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

MENGAPA MAJAPAHIT MENJADI SUMBER INSPIRASI?

Dalam pidato “Lahirnja Pantja-Sila”, Bung Karno menekankan bahwa kita adanya dua kali mengalami _Nationale Staat_ , yaitu di zaman Sriwijaya dan Majapahit. Selain kedua negara itu, kita tidak mengalami negara nasional.
Bung Karno memberi contoh, Mataram, Pejajaran, Banten, dan Bugis adalah negara-negara berdaulat, negara-negara merdeka, tetapi bukan negara nasional.
Itulah sebabnya para pendiri bangsa, banyak terinspirasi oleh Majapahit. Dari Majapahit kita mengambilalih istilah Pancasila sebagai nama Dasar Negara, salam nasional kita “Merdeka”, dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai “sesanti” dalam lambang negara kita.

Demak, Mataram, Bugis, Banten tidak pernah berhasil mempersatukan Nusantara, karena landasan dalam bina negara bukan sebuah “welthansauung” dari semua, oleh semua dan buat semua, melainkan berasas primordialitas agama tertentu. Terbukti bahwa sistem teokrasi atau negara agama, tidak pernah bisa mempersatukan Nusantara yg sangat majemuk.

Selanjutnya, sama-sama negara nasional yg wilayahnya bahkan lebih besar dari NKRI sekarang, mengapa para pendiri bangsa lebih terinspirasi oleh Majapahit, bukan Sriwijaya?
Faktanya, dokumentasi tertulis Sriwijaya tidak selengkap Majapahit, yg telah mengabadikan prinsip kehidupan bina negara dalam sejumlah prasasti, lontar perundang-undangan, dan sejumlah besar karya sastra yg sampai sekarang masih dibaca dan terus dilestarikan di pulau Bali.

Semua peninggalan sejarah itu tidak ada lagi di Jawa, tetapi justru diwariskan utuh kepada kita dari Pulau Dewata.
Orang Jawa tidak lagi berbicara dalam bahasa Jawa kuno, tetapi di Bali bahasanya Mpu Tantular dan Mpu Prapanca ini masih dilestarikan dalam bentuk sastra kekawin.

Ada yg mengatakan bahwa “teman ahli bahasa” yg dimaksud Bung Karno dalam pidatonya itu Pak Yamin. Tetapi yg lain bilang Ida Bagus Sugriwa, salah seorang putra Bali yg turut dalam sidang-sidang menjelang kemerdekaan RI.
Baik Profesor Yamin maupun Ida Bagus Sugriwa adalah dua orang yg berdiskusi dengan Bung Karno, yg disebut “seorang teman ahli bahasa”.

Konon, di sela-sela Sidang BPUPKI antara Mei-Juni 1945, Yamin, seorang putra Minang yg ahli kebudayaan dan bahasa, mula-mula menyebut ungkapan “Bhinneka Tunggal Ika”, I Gusti Bagus Sugriwa yg duduk di sampingnya spontan melengkapi sambungan ungkapan itu “Tan hana dharma mangrwa” (Tidak ada kebenaran yg mendua).
Keakraban keduanya seperti tampak dalam penggalan catatan sejarah di atas, membuktikan bahwa kedua sahabat Bung Karno ini memang sangat mendalami karya-karya Jawa kuno.
Lebih-lebih Ida Bagus Sugriwa, sebagai putra Bali dari Buleleng, menjadi saksi hidup bahwa di Bali istilah-istilah seperti Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Mahardhika, dan sebagainya, adalah ungkapan-ungkapan yang masih hidup, dihayati, dan dilestarikan selama berabad-abad melalui sastra Kekawin.
Bali adalah museum hidup Majapahit yg masih tegak berdiri sampai hari ini.

Selain naskah Leiden, sumber rujukan lontar Sutasoma banyak menginspirasi para bapak bangsa di awal kemerdekaan, yg mungkin dibaca saat itu.
Jadi, sangat mungkin sebelum mengucapkan pidatonya, Bung Karno mendiskusikannya dengan Yamin dan Ida Bagus Sugriwa.

Majapahit menjadi inspirasi para bapak bangsa, bukan hal yg kebetulan. Negara nasional Kedua ini tidak hanya memberikan kebanggaan sebagai inspirasi untuk menghadirkan keagungan sejarah yg pernah ada, tetapi juga telah memberikan model dalam mengelola warisan pluralisme bangsa.
Jadi, bukan hanya istilahnya yg kita warisi, tetapi pemikiran filsafat kenegaraan yg dibangun di atas jiwa merdeka yg terbuka, toleran, bahkan secara aktif berbagi dalam kebersamaan untuk merenda masa depan bangsa dan umat manusia.

Selamat memperingati Hari Lahirnya Pancasila! !!

MERDEKA!!

Oleh Dr Bambang Noorsena, pendiri Institute for Syriac Culture Studies (ISCS), Doktor Hukum Pidana Universitas Brawijaya Malang.

Share

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *