Sidoarjo – Pergerakan Mahasiswa Islam Imdonesia (PMII) tepat hari ini genap berusia 63 tahun. PMII merupakan organisasi gerakan dan kaderisasi yang berlandaskan islam ahlussunah waljamaah. Berdiri sejak tanggal 17 April 1960 di Surabaya dan hingga lebih dari setengah abad kini PMII terus eksis untuk memberikan kontribusi bagi kemajuan bangsa dan negara.
Mengusung tema “Penggerak Bangsa Memimpin Nusantara”, PMII memiliki tujuan mulia ketika dibentuknya, yakni Terbentuknya pribadi muslim Indonesia yang bertakwa kepada Allah Swt, Berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggungjawab dalam mengamalkan ilmunya serta komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia.
Dikutip dari www.nu.or.id, Organisasi Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berakar dari kongres ke-3 IPNU pada 27-31 Desember 1958 dengan pembentukan Departemen Perguruan Tinggi IPNU, mengingat banyak mahasiswa yang menjadi anggotanya. Pemikiran ini sebenarnya sudah terlontar pada Kongres ke-2 di Pekalongan, tetapi kondisi IPNU sendiri yang masih perlu pembenahan menyebabkan ide ini belum ditanggapi secara serius.
Selanjutnya dalam konferensi besar IPNU 14-16 Maret 1960 di Kaliurang, Yogyakarta, diputuskan terbentuknya suatu wadah mahasiswa NU yang terpisah secara struktural dari IPNU-IPPNU.
Sebelumnya secara terpisah sudah terdapat beberapa organisasi lokal yang mewadahi mahasiswa NU seperti IMANU (Ikatan Mahasiswa Nahdlatul Ulama) di Jakarta (1955), Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) di Surakarta (1955), Persatuan Mahasiswa Nahdlatul Ulama (PMNU), dan di banyak tempat lainnya. Upaya ini kurang mendapat dukungan IPNU, yang waktu itu para pengurusnya sebagian besar terdiri dari para mahasiswa, yang akhirnya diakomodasi dengan pembentukan Departemen Perguruan Tinggi.
Sayangnya, integrasi dalam satu wadah, antara mahasiswa dan pelajar ini kurang berhasil mengingat kebutuhan antara pelajar dan mahasiswa berbeda dan gerak dari Departemen Perguruan Tinggi IPNU terbatas mengingat ia tidak diakui dalam Persatuan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), suatu konferderasi organisasi mahasiswa. Faktor eksternal adalah HMI (Himpunan Mahasiswa Islam Indonesia), yang tokohnya dekat dengan Masyumi, dan banyak tokoh di dalamnya terlibat dalam PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia). Inilah faktor yang menyebabkan dibentuknya organisasi tersendiri.
Kebutuhan NU akan pengembangan mahasiswa juga dinilai mendesak karena NU sebagai partai politik waktu itu membutuhkan kader dengan kapasitas intelektual yang tinggi untuk memegang jabatan strategis, yang sejauh ini lebih banyak diberikan kepada orang luar yang kemudian baru di-NU-kan.
Pendirian PMII dimaksudkan sebagai alat untuk memperkuat partai NU, sebagian besar programnya berorientasi politik. Hal ini dilatarbelakangi pertama, anggapan bahwa PMII dilahirkan untuk pertama kali sebagai kader muda partai NU sehingga gerakan dan aktivitas selalu diorientasikan untuk menunjang gerak dan langkah partai NU.
Kedua, suasana kehidupan barbangsa dan bernegara waktu itu sangat kondusif untuk gerakan politik sehingga politik sebagai panglima betul-betul menjadi kebijakan pemerintah Orde Lama. Dan PMII sebagai bagian dari komponen bangsa mau tidak mau harus berperan aktif dalam konstelasi politik seperti itu.
Dari keputusan Konbes Kaliurang ini akhirnya dibentuk 13 sponsor pendiri organisasi mahasiswa yang terdiri dari:
1. Cholid Mawardi (Jakarta)
2. Said Budairy (Jakarta)
3. M Sobich Ubaid (Jakarta)
4. M Makmun Syukri BA (Bandung)
5. Hilman (Bandung)
6. H Ismail Makky (Yogyakarta)
7. Munsif Nahrawi (Yogyakarta)
8. Nuril Huda Suady HA (Surakarta)
9. Laily Mansur (Surakarta)
10. Abd Wahad Jailani (Semarang)
11. Hisbullah Huda (Surabaya)
12. M Cholid Narbuko (Malang)
13. Ahmad Husain (Makassar)
Selanjutnya, dilakukan musyawarah di Surabaya 14-16 April 1960 yang memutuskan pemberian nama Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan penyusunan Peraturan Dasar PMII, yang dinyatakan mulai berlaku pada 17 April. Tanggal inilah yang digunakan sebagai peringatan hari lahir PMII.
Nama PMII adalah usulan dari delegasi Bandung dan Surabaya, serta mendapat dukungan dari Surakarta. Delegasi Yogyakarta mengusulkan nama Perhimpunan Persatuan Mahasiswa Ahlusunnah wal Jamaah dan Perhimpunan Mahasiswa Sunny, sedangkan utusan Jakarta mengusulkan (IMANU) Ikatan Mahasiswa NU.
Tak sampai setahun, organisasi mahasiswa ini melakukan kongres pertamanya di Tawangmangu Surakarta dengan 13 cabang. Selanjutnya, pada kongres kedua tahun 1963, sudah mencapai 31 cabang, 18 cabang merupakan cabang baru.
PMII secara tegas berkeinginan untuk menjaga dan memelihara ajaran Islam Ahlusunnah wal Jamaah. Ini mengingat aspirasi mahasiwa NU kurang terakomodasi dalam organisasi mahasiwa Islam yang sudah ada sebelumnya.
Tiga belas deklarator tersebut diatas, sering disinggung dalam berbagai kesempatan, khususnya ketika dilaksanakan kegiatan pengkaderan, seperti Mapaba, PKD, dan seterusnya. Juga pada saat momen Harlah PMII. Sehingga, hanya 13 nama itulah yang dikenal dan dikenang sebagai pendiri PMII.
Hingga pada sebuah kesempatan yang diselenggarakan PB PMII dalam kegiatan diskusi daring bertajuk “Tausiah Pergerakan 3 Pendiri PMII”, Sabtu (18/4/2020) malam, salah satu pendiri PMII KH Munsif Nahrowi yang ikut memberikan tausiah, mengungkapkan hal baru mengenai sejarah awal pendirian PMII. Menurut Kiai Munsif, selain 13 nama yang telah disebutkan di atas, terdapat satu nama lagi yang semestinya juga diikutkan, sebab tokoh ini memiliki peranan penting dalam musyawarah mahasiswa NU di Surabaya tersebut.
“Sebenarnya ada satu yang rupanya ditinggalkan. Namanya biasa dikenal dengan A.A. Murtadho. Beliau waktu itu merupakan perwakilan dari PP (Pimpinan Pusat) IPNU di Jakarta,” ungkap Kiai Munsif.
Lebih lanjut, dalam kesempatan tersebut Kiai Munsif menerangkan tentang A.A. Mutadho yang kala itu masih berstatus sebagai mahasiswa ADLN (Akademi Dinas Luar Negeri), yang kini dikenal sebagai Sekdilu (Sekolah Dinas Luar Negri), yakni program pendidikan dan pelatihan fungsional diplomat dasar pada Kementerian Luar Negeri RI. “Beliau beberapa kali memimpin sesi pada waktu pertemuan di Surabaya. Juga pemegang andil dalam berdirinya PMII,” tutur Kiai Munsif.
Berikut adalah ketua umum PB PMII dari masa ke masa:
1960-1961 Mahbub Junaidi
1961-1963 Mahbub Junaidi
1963-1967 Mahbub Junaidi
1967-1970 M Zamroni
1970 -1973 M Zamroni
1973-1976 Abduh Paddare
1977-1981 Ahmad Bagdja
1981-1984 Muhyiddin Arubusman
1985-1988 Suryadharma Ali
1988-1991 M Iqbal Assegaf
1991-1994 Ali Masykur Musa
1994-1997 Muhaimin Iskandar
1997-2000 Syaiful Hari Anshori
2000-2002 Nusron Wahid
2003-2005 Malik Haramain
2005-2007 Hery Herianto Azumi
2008-2011 Rodli Kaelani
2011-2013 Adin Jauharuddin
2014-2016 Aminuddin Ma’ruf
2017-2021 Augs Mulyono Herlambang ( Masa Pandemi kongres terlaksana mundur)
2022-2025 Abdullah Syukri
(Ant/Nisa)