Dominasi budaya maskulin di Indonesia sangat menentukan bagaimana seharusnya perempuan bersikap dan menempatkan dirinya di tengah masyarakat. Perempuan modern saat ini sedikit dibutakan oleh kesetaraan yang sebenarnya, tanpa mereka sadari, mereka tetaplah berada
di dalam bayang-bayang kekuasaan laki-laki.
Mereka merasa bahwa perjuangan kesetaraan gender di periode sebelumnya sudah berhasil membuat kedudukan mereka sama dengan kaum laki-laki. Namun nyatanya, mereka tetap saja terjebak dalam peran domestik, jika mereka sudah berada di dalam rumah. Contohnya, Mereka akan tetap lekat dengan peran ibu yang mengharuskan mereka untuk mengasuh anak, memasak untuk sang suami dan bebenah rumah setelah mereka pulang bekerja. Bahkan, terkadang dalam ruang publik sekalipun, perempuan masih saja dipandang demikian. Jadi mungkin saja kesetaraan gender
masih sangat utopis di Indonesia.
Itulah sebabnya kenapa perjuangan soal kesetaraan harus selalu dianggap penting. Dari norma adat, hukum formal Negara dan kesalahpahaman menafsirkan agama masih menjadi pagar pembatas yang sangat kuat untuk perempuan terbebas dari belenggu-belenggu yang mengharuskan mereka rela terkurung tanpa mereka sadari.
Kartini dan para penerusnya harus selalu jadi teladan, bahwa memang hak-hak kesetaraan wajib untuk didapatkan bagi semua gender, entah laki-laki, perempuan dan yang lainnya. Tentunya dengan tantangan yang berbeda dan semakin rumit.
Namun disamping maraknya objektifikasi dan erotisme media, ada juga siaran televisi dan film yang seolah-olah ingin mengimbangi media masa yang selalu menjual perempuan
layaknya pelacur di hadapan khalayak. Media-media tersebut seperti berusaha menyuarakan keberanian perempuan untuk mendapatkan hak-haknya dan menempatkan perempuan setara dengan laki-laki. Salah satu contohnya yakni film Aladdin yang merupakan produksi dari Disney, suatu film yang dibuat ulang dari animasi menjadi film Life-Action pada tahun 2019 lalu. Di dalam film Aladdin tersebut, kita dapat melihat bagaimana Sosok Putri Jasmine yang dibuat sangat gagah dan berani dalam balutan penampilan yang feminin. Putri Jasmine dibuat seperti kartini di masa lalu, yang dimana ia dengan berani berjuang dan melawan peran gender tradisional serta norma-norma patriarki, seperti menolak perjodohan, menolak gagasan bahwa perempuan tidak dapat menjadi seorang sultan serta menolak upaya dari lelaki untuk membungkam dirinya (Schiele, Louie, & Chen, 2020). Entah apa yang mendasari Disney menciptakan tokoh putri Jasmine menjadi seperti itu, namun ini cukup menunjukan keberanian Disney menyuarakan hak-hak dari kaum perempuan melalui putri Jasmine dalam film Aladdin tersebut.
Dari masa ke masa, perjuangan perempuan tak pernah luput dalam keikutsertaannya
menyuarakan isu sosial ekonomi nasional, dan ini merupakan bukti bahwa perempuan tidak hanya mementingkan hak dari kaumnya saja, melainkan hak semua orang. Dimasa sekarang, lagi-lagi Indonesia dihadapkan dengan permasalahan yang begitu besar. Baik itu permasalahan dari dalam tubuh pemerintahannya sendiri, seperti korupsi, maupun permasalahan diakibatkan oleh faktor eksternal seperti pandemi Covid-19 yang kini dirasakan oleh sebagian besar Negara di dunia termasuk juga Indonesia. Pada pertengahan bulan Januari 2020, Covid-19 dengan cepat menginfeksi lebih dari 193 Negara di dunia, sehingga Negara-
negara yang terinfeksi tersebut harus menerapkan kebijakann lockdown dan social distancing. Dampak yang ditimbulkan bukan hanya krisis dibidang kesehatan saja, namun juga ekonomi dan sosial yang juga ikut terdampak.
Perjuangan feminisme selalu hadir hampir di dalam semua permasalahan yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia, baik di masa penjajahan kolonial, orde lama, orde baru, hingga pada masa sekarang. Dari Perjuangan Kartini sampai Arivia, merupakan bukti bahwa perempuan mampu lantang menyuarakan aspirasi mereka tentang kesetaraan bahkan tentang isu permasalahan sosial yang lain.
Penulis : Septiana Nurlaeli, S.A.P
Aktivis perempuan Pasuruan, Alumni PMII Pasuruan.